BONETERKINI. COM--Dialog Budaya yang diselenggarakan oleh Pengelola Museum Kebudayaan Bugis, tanggal 10 Maret 2022 ini sebagai bagian dari peran serta peringatan Hari Jadi Bone yang ke-692 tahun, patut diapresiasi. Saya senang sekali untuk berbagi informasi yang semoga menjadi pengetahuan baru lagi bagi perubahan sosial dan budaya, khususnya Budaya Bugis Bone, dimasa mendatang. Dialog Budaya ini sangat berarti sebab semoga kita sudah berada dipenghujung Pandemi Covid-19. Kita tentu sepakat lebih awal, bahwa Covid-19, telah menerjang kehidupan sosial dan budaya kita sejak Maret 2020 – Maret 2022.
Perubahan sosial, dapat terjadi kapan saja dan dengan cara apa saja. Munculnya kondisi ‘sianre bale’ yang digambarkan sebagai keadaan yang tak menentu karena masing-masing diri Orang Bugis masa itu, mau melakukan perubahan diri dengan mengandalkan kekuatan individu, akhirnya membuka peluang munculnya ‘perekayasa sosial politik’ dengan menghadirkan tokoh To Manurung. Kapasitas diri dengan segala kelebihan kompetensinya itu menjadi pembawa perubahan sosial, budaya dan sekaligus diakui meletakkan dasar-dasar kepemimpinan dengan terbentuknya sebuah sistem pemerintahan.
Bagi saya, refolusi sosial, budaya dan politik pertama, dialami Orang Bugis Bone, diperkirakan pada abad ke XIV yang kemudian ditandai dengan kesepakatan lahirnya suatu negara Kerajaan Bone, yakni tanggal 6 April, 1330 yang dilegitimasi secara yuiridis melalui PERDA N0.1, tanggal 22 Maret 1990. Memang jejak perabadan purba, bisa kita pastikan melalui situs pada gua-gua prasejerah di Desa Langi, Kecamatan Bontocani, ribuan tahun sebelum masehai atau pada legenda Kerajaan Mampu, yang kemungkinan menjadi cikal bakal To Manurung, sebagai generasi kedua dari Sawerigading atau La Galigo. Seperti kita ketehaui besar sekali perubahan yang terjadi, pada masa itu, bahkan ketika Islam diterima menjadi Agama Kerajaan Bone sehingga syariat Islam menjadi bagian dari Ade Pangadereng, hanya mampu mempengaruhi perubahan sosial dan Budaya Orang Bugis Bone pada khususnya. Memang kemudian Raja Bone juga digelar SULTAN sebagai sebutan Raja Kerajaan Islam, tentu mempengaruhi tatanan sosial, sebab lapisan terendah strata sosial yakni BUDAK ( Ata, sudah dihapuskan).
Perubahan, pasti terjadi dan dialami oleh seseorang maupun komunitas masyarakat. Perubahan adalah bagian dari proses kehidupan bagi manusia, sehingga diperlukan kemampuan untuk mengenali diri untuk dapat melakukan penyesuaian atas perubahan yang terjadi. Kita harus mampu mempersiapkan diri dan berperan nyata dalam proses perubahan itu, jika tidak mau tergilas oleh dampak negatif dari sebuah perubahan. Jadi sesungguhnya yang harus berubah itu adalah diri kita kemudian membentuk atau bersesuai dengan perubahan lingkungan.
Sesungguhnya kita sudah melewati satu fase tatanan kehidupan sosial berkebangsaan yang baru dengan melewati Visi Indonesia 2020, adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang relegius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaran negara. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan perwujudan Visi Indonesia, yakni Relegius dengan gambaran terwujudnya masyarakat yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya, terutama kejujuran dihayati dan diamalkan dalam prilaku kesehariannya.
Sistem sosial yang beradab mengutamakan terwujudnya masyarakat yang mempunyai rasa saling percaya dan saling menyayangi, baik terhadap sesama masyarakat maupun antara masyarakat dengan institusi publik. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat yang mencakup peningkatan mutu pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan rakyat, rasa aman dan unsur-unsur kesejahteraan rakyat lainnya.
Perubahan sosial yang pastinya terjadi dan terus akan terjadi, tidaklah susah untuk membacanya, sepanjang ada keinginan untuk mendalami sebuah peristiwa. Kalau disebutkan diatas bahwa kurung waktu peristiwa mulai dari tahun 1908 kemudian sampai pada tahun 1928 dan memuncak pada tanggal 17 Agustus 1945 yang dikenal sebagai hari Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Legitimasi secara yuridis pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada fase itu, terjadi perubahan sosial yang fundamental bagi masyarakat, karena hasilnya adalah sebuah tatanan baru yakni lahirnya sebuah negara. Artinya, lahir peradaban baru Indonesia.
Setiap perubahan membawa implikasi yang besar terhadap diri seseorang atau suatu komunitas masyarakat, apalagi kehidupan kebangsaan. Covid-19 datang menyerang masyarakat Indonesia sekitar bulan Maret 2020. Lantas pemerintah memproklamerkan keadaan darurat nasional, melalui Perpres No.12 tahun 2020, tanggal 13 april 2020. Keputusan presiden itu dikeluarkan setelah juga memperhatikan keputusan Badan PBB untuk kesehatan dunia yakni WHO menetapkan pandemi global covid-19. Serangan virus ini, mempengaruhi tatanan kehidupan sosial dunia, termasuk Indonesia. Serangan Vovid-19, dihadapi oleh pemerintah semua negara terdampak di dunia, seakan-akan perang dengan senjata andalan terakhir adalah vaksin.
Meraka Peradaban baru, disebut demikian karena datang pada kurung waktu yang baru dalam ruang yang baru. Namun apa substansinya kearifan lama dalam pengungkapan dengan kemasan baru, dapat dicermati lebih luas pada Buku Perubahan Sosial – Membangun Peradaban Baru, yang kami terbitkan tahun 2021 lalu. Sejumlah pakar di bidangnya, kami tampilkan pemikiran-pemikirannya, sebagian diantaranya sudah dipaparkan dalam Seri Dialog Virtual, selama kurung waktu Pandemi Covid 19 pada tahun 2020. Pada buku itu, b=kami mencoba menghimpun pandangan tentang perubahan sosial, mereka peradaban baru melalui perubahan budaya masyarakat yang kemudian saya sebut bakal lahirnya Refolusi Sosial Budaya.Suasana mencekam dan kebijakan yang berubah-ubah dari pemerintah, memang memicu ketidakstabilan sosial masyarakat. Karena itu pada satu fase diskusi, saya menyebutkan akan terjadi : ‘Refolusi Sosial Budaya’ di Indonesia. Selama ini memang Indonesia tidak punya pengalaman khusus tentang refolusi sosial yang ada hanya perubahan sosial karena terjadinya dinamika politik. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998, tidak cukup waktu mendorong lahirnya refolusi sosial, apalagi refolusi budaya, sekalipun terjadi REFORMASI dibidang politik dan pemerintahan.
Perubahan Budaya Bugis Bone
Jika saja kita menukik pada keadaan sekarang dengan menyimpulkan bahwa Covid-19 memicu terjadinya akmulasi perubahan sosial, maka sudah pasti juga memacu terjadinya perbuhan budaya bagi Orang Bugis Bone, namun membutuhkan kajian mendalam untuk memilah pada aspek-aspek mana terjadi perubahan itu. Kita semua merasakan bahwa terjadi perubahan sosial bagi Orang Bone dengan berkembangnya lapisan strata sosial baru berekonomi kuat, tidak lagi berdasarkan strata sosial lama yakni karena kebangsawanan. Harus diakui bahwa sesungguhnya di masa lampau hanyalah bangsawan yang berekonomi kuat karena memiliki lahan pertanian yang luas, mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakat karena mengendalikan pemerintahan ( Akkarungeng), sehingga punya pekerja yang banyak. Tentu saja tanpa mengenyampingkan adanya strata sosial lapisan kedua yakni saudagar bukan bangsawan.
Pergeseran struktur sosial melalui perubahan strata sosial itu, bukan hanya pada sektor sosial secara luas termasuk kaum cendekiawan dan perekonomian yang juga dalam pengetian kelas menengah, namun merambah masuk dalam sektor pemerintahan dan politik. Mereka yang lolos menjadi ASN kemudian memegang jabatan pemerintahan di Kabupaten Bone. Mereka yang lolos menjadi pemenang pemilihan kepala desa, hingga menjadi pemenang dalam Pemilu Legislatif hingga menjadi bagian penting penentuan kebijakan pemerintahan daerah. Narasi-narasi ini hanya menunjukkan adanya perubahan sosial dan sangat berpengaruh dalam pembentukan Budaya baru bagi Orang Bugis Bone khususnya dan Orang Bugis di daerah lain, pada umumnya. Perubahan sosial dan budaya itu seperti yang saya narasikan diatas ( Maaf butuh kajian lebih mendalam, silakan), sangat mempengaruhi integirtas dan jati diri Orang Bugis dalam menjalani kehidupan sosialnya. Pada kalangan tertentu dengan kuat mempertahankan nilai-nilai lama melalui praktik menjalankan tradisi siklus kehidupan dari fase pernikahan hingga setelah kematiannya. Pada lapisan tertentu mempertahankan simbol-simbol budaya yang dipahaminya dengan benar, namun belum tentu benar, jika diukur dengan tatanan tradisi dan budaya lama kita. Maaf istilah budaya lama, hanya agar membedakan dengan budaya baru.
Pada setiap upacara HJB, selalu ada saja bisikan tentang misalnya garis emas dalam songkok recca yang dipakainya. Warna Baju Tokko. Warna dan motif sarung dan banyak lagi hal-hal yang tidak mewakili lagi suatu konsistensi antara ade pangadereng lama dengan tuntutan kehidupan sosial dan budaya baru. SALAHKAH itu ? Saya tidak bisa menyimpulkan praktik berbudaya itu, melainkan saya hanya akan mengatakan telah lahir BUDAYA BARU dari remang-remangnya LITERASI BUDAYA BUGIS BONE kita. Maka melalui dialog ini justru saya menawarkan suatu konsepsi pemikiran dan sekaligus harapan untuk kita rajuk kedepan yakni BUDAYA BARU – BUDAYA BUGIS BONE.
Pertanyaan untuk kita semua, Budaya Bugis Bone yang baru itu yang mana dapat menjadi kesepahaman sebagi kristalisasi nilai dari kearifan lokal yang masih bertahan atau dapat dipertahankan. Pastinya, kita Orang Bugis Bone, pasti akan memasuki dan menjali kehidupan sosial baru, peradaban baru dan budaya baru. (*)