Oleh: Zainal
Mahasiswa Program Pascasarjana UNM - Administrasi & Kebijakan Publik
Zainal |
Sebuah aspek penting yang harusnya cukup memperoleh perhatian para pengamat dan peneliti dalam Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang adalah partisipasi pemilih penyandang disabilitas. Pemilu 2024 mendatang, diharapkan angka partisipasi pemilih khususnya pemilih penyandang disabilitas secara nasional maupun daerah bisa mencapai angka maksimal.
Di sisi lain, KPU dituntut untuk menyiapkan sarana untuk akses bagi penyandangn disabilitas serta
menjamin keselamatan mereka. Suatu tantangan yang kompleks dan tidak mudah untuk menjaga Pemilihan tetap demokratis dan berintegritas.
Penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus pada Pemilu 2024 ini. Hak pilih merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik di negara demokratis Sehingga bagi warga negara, Pemilu menjadi penyalur kehendak mereka dalam menentukan pemimpin yang akan memperjuangkan aspirasi mereka. Termasuk dalam pemenuhan dan memperjuangkan hak-hak kelompok penyandang disabilitas.
Keterlibatan pemilih disabilitas dalam politik adalah indikator bahwa pelaksanaan Pemilu telah menjunjung prinsip inklusif, yaitu sebuah kondisi dimana pelaksanaan Pemilu telah memberikan kesempatan bagi semua pemilih untuk menggunakan hak pilihnya tanpa adanya hambatan agama, ras/etnik, gender, usia, kondisi fisik, dan wilayah (Nugroho & Liando, 2019:32-35).
Berkaca pada pemilu tahun 2019 lalu, penyandang disabilitas hanya berpartisipasi dalam kegiatan pemungutan suara Pemilu, di luar tahapan tersebut, penyandang disabilitas tak banyak terlibat. Kemudian, kendala yang dihadapi pemilih disabilitas adalah kurang validnya Daftar Pemilih Tetap (DPT), kurangnya pemahaman terkait tata cara untuk memberikan suara dalam Pemilu 2019, tingkat pemahaman Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sangat kurang terkait dengan kebijakan penyandang disabilitas dalam Pemilu. Faktor lain adalah minimnya proses sosialisasi kepada penyandang disabilitas yang tidak tergabung dalam organisasi (Kharima, 2016:34-43).
Permasalahan lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas berasal dari faktor struktural dan kultural yaitu dari aspek kebijakan pemerintah, masyarakat, dan faktor internal penyandang disabilitas itu sendiri. Kendala tersebut seperti sulit mendaftar menjadi penyelenggara pemilu (PPK, PPS, dan KPPS), kurangnya pemahaman dari KPPS saat membantu disabilitas yang hadir di TPS, serta masyarakat yang kurang menerima perbedaan (Asrorul Mais, 2019:84-85).
Dari pengalaman yang ada, masih diperlukan upaya akademik yang sungguh-sungguh untuk memecahkan problematika apa saja yang muncul dalam partisipasi pemilih penyandang disabilitas di Indonesia. Dibutuhkan strategi dan kebijakan yang telah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di masing-masing kabupaten, serta problematika yang ditemui berkaitan dengan partisipasi pemilih penyandang disabilitas.
Keterlibatan penyandang disabilitas tentu merupakan perwujudan dari pemenuhan hak warga negara. Penyandang disabilitas sebagai warga negara masih memiliki keterbatasan untuk mengakses fasilitas pendidikan, informasi, ekonomi dan politik jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Sehingga, negara sebagai sebuah entitas yang netral mempunyai 3 tugas mendasar, yaitu: (a) Melakukan penghormatan (obligation to respect); (b) Memberikan perlindungan (obligation to protect); (c) Melakukan pemenuhan hak (obligation to fulfill). (Sujatmoko, 2015:76)
Hal tersebut juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menyebutkan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam pemenuhan hak politik, aksesibilitas, dan memperoleh informasi. Fungsi pemenuhan hak setiap warga negara, utamanya untuk menjamin terpenuhinya hak politik merupakan salah satu tugas yang diemban KPU. Tugas ini dilakukan dengan melakukan fungsi sosialisasi dan pendidikan pemilih yang akan mendorong meningkatnya partisipasi, termasuk didalamnya penyandang disabilitas.
Partisipasi politik masyarakat sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi dapat diakses oleh seluruh warga negara dan penyandang disabilitas. Salah satu bentuknya adalah dengan memberikan hak yang sama bagi setiap warga negara untuk ikut berperan aktif dalam Pemilu. Tugas ini telah diimplementasikan secara baik oleh KPU di tingkat pusat hingga KPU di daerah dan telah diatur dalam PKPU yang diantaranya mengatur: (a) Kesempatan dan akses yang sama kepada seluruh warga negara pada pelaksanaan Pemilu; (b) Komitmen untuk memberikan hak yang sama dalam Pemilu/Pemilihan, meliputi hak politik, aksesibilitas, pelayanan publik dan pendataan pemilih.
Dari beberapa pemahaman yang ada, diharapkan terdapat upaya pemenuhan hak politik bagi penyandang disabilitas, dimulai dari pendataan sampai dengan penyediaan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang mudah diakses. Selain itu, penyandang disabilitas diminta berpartisipasi secara aktif dengan memilih pemimpin secara langsung. Kemudian butuh penguatan terhadap kemungkinan permasalahan yang dapat diklasifikasikan kedalam empat hal yaitu (1) sosialisasi politik; (2) demand and support; (3) data penyandang disabilitas; dan (4) aksesibilitas.***