Sejarah, Darah, dan Sampah Pilkada Bone


BONETERKINI.COM - Kabupaten Bone, salah satu wilayah bersejarah di Sulawesi Selatan, telah lama menjadi simbol peradaban, kekuatan, dan kepemimpinan di Tanah Bugis. Sebagai bekas pusat Kerajaan Bone, nilai-nilai luhur seperti keberanian, kebijaksanaan, dan komitmen pada keadilan diwariskan turun-temurun. Namun, dalam lanskap demokrasi modern, Pilkada di Bone sering kali memunculkan paradoks: harapan akan masa depan yang lebih baik di satu sisi, dan praktik- praktik politik kotor yang merusak di sisi lain.

Sejarah Bone yang dipenuhi perjuangan dan darah pengorbanan bisa berubah menjadi "sampah politik" jika masyarakat tidak cerdas dalam memilih pemimpin. Pilkada tidak hanya tentang siapa yang menang, tetapi juga tentang bagaimana proses ini mencerminkan nilai-nilai keadaban dan martabat masyarakat Bone itu sendiri.


Sejarah : Dari Peradaban Luhur ke Dinamika Demokrasi Modern


Kabupaten Bone tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarahnya sebagai pusat kerajaan besar yang memiliki tatanan sosial dan politik yang kuat. Lahirnya Kerajaan Bone adalah hasil dari keinginan kolektif masyarakat untuk memiliki pemimpin yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga bijaksana dalam mengambil keputusan dan menjaga keharmonisan rakyatnya. Dalam konteks sejarah Bugis, Bone dikenal sebagai salah satu kerajaan yang paling berpengaruh, memainkan peran penting dalam pembentukan identitas budaya, politik, dan sosial di Sulawesi Selatan.


Tokoh-tokoh besar seperti Arung Palakka, yang dikenal karena keberaniannya melawan penindasan, mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan yang menghargai martabat, integritas, dan tanggung jawab. Di bawah kepemimpinan seperti itu, Kerajaan Bone tidak hanya bertahan dalam menghadapi ancaman eksternal, tetapi juga menjadi pusat peradaban yang memperjuangkan kemandirian, kesejahteraan, dan kehormatan rakyatnya.


Tatanan kerajaan ini mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan dan memperkuat konsep gotong royong dalam kehidupan sosial. Sistem ini tidak hanya menciptakan stabilitas politik di dalam kerajaan, tetapi juga menjadikan Bone sebagai kekuatan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.


Namun, nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi kelahiran Kerajaan Bone kini menghadapi tantangan besar dalam demokrasi modern. Pilkada, yang seharusnya menjadi manifestasi dari semangat musyawarah dan keadilan, sering kali kehilangan esensi tersebut. Intrik politik, praktik politik uang, dan polarisasi masyarakat bertolak belakang dengan cita-cita luhur para pendiri Bone yang mengutamakan keadilan dan kebersamaan.


Di masa lalu, tatanan kerajaan Bone lahir dari kehendak untuk memperjuangkan kebaikan bersama, bukan sekadar kepentingan individu atau kelompok tertentu. Sejarah ini mengajarkan bahwa kekuatan kepemimpinan terletak pada kemampuan untuk menyatukan rakyat, menjaga persatuan, dan memperjuangkan kesejahteraan tanpa melupakan nilai-nilai moral. 


Dalam konteks Pilkada modern, tatanan ini seharusnya menjadi inspirasi, agar demokrasi tidak hanya menjadi alat perebutan kekuasaan, tetapi juga menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran yang sejati.


Kabupaten Bone memiliki sejarah yang kaya akan nilai-nilai luhur, dan tugas generasi sekarang adalah memastikan nilai-nilai tersebut tidak hilang, tetapi diteruskan dalam setiap proses politik, termasuk Pilkada. Dengan demikian, semangat lahirnya Kerajaan Bone tetap hidup sebagai pemandu dalam membangun masa depan yang lebih baik bagi masyarakatnya.


Darah : Konflik, Polarisasi, dan Warisan Perjuangan Para Raja Bone


Pilkada di Kabupaten Bone tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah perjuangan para leluhur yang telah mengorbankan darah demi mempertahankan harga diri, martabat, dan kedaulatan Kerajaan Bone. Bone adalah tanah para raja, yang pada masa kejayaannya, dikenal karena keberanian pemimpinnya dalam menghadapi ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Nilai keberanian dan komitmen pada martabat inilah yang seharusnya menjadi pedoman dalam setiap proses demokrasi modern, termasuk Pilkada.


Kerajaan Bone, di bawah pemimpin-pemimpin besar seperti Arung Palakka, tidak hanya berjuang untuk mempertahankan wilayahnya, tetapi juga menjaga nilai-nilai kehormatan sebagai bangsa yang bermartabat. Dalam banyak catatan sejarah, peperangan yang dilakukan oleh raja-raja Bone bukanlah sekadar untuk memperluas wilayah atau mempertahankan kekuasaan, melainkan untuk melindungi rakyatnya dari penindasan dan menjaga kedaulatan atas tanah mereka. Pertumpahan darah ini adalah pengorbanan besar yang telah menjadi fondasi harga diri masyarakat Bone hingga hari ini.


Namun, ironi terjadi ketika nilai perjuangan yang telah dibayar mahal oleh darah para leluhur itu tidak lagi dihormati dalam praktik politik modern. Polarisasi masyarakat yang muncul akibat dukungan kepada kandidat berdasarkan strata, warna partai, kepentingan, atau kelompok tertentu tidak hanya memecah belah, tetapi juga mencederai semangat kebersamaan yang dulu menjadi kekuatan utama Kerajaan Bone. Konflik sosial yang sering kali terjadi dalam Pilkada seperti ini bertolak belakang dengan cita-cita luhur para raja Bone yang memperjuangkan persatuan dan kemakmuran rakyatnya.


Lebih menyakitkan lagi, praktik politik uang (money politics) yang kerap mewarnai Pilkada di Bone mengkhianati nilai kehormatan yang dijaga oleh para raja Bone. Ketika suara masyarakat dijual dengan nominal tertentu atau iming-iming sembako, hakikat demokrasi yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan rakyat justru berubah menjadi transaksi yang memperdagangkan martabat.


Masyarakat Bone harus merenungi kembali warisan perjuangan ini. Darah yang tumpah dari leluhur kita bukanlah untuk diwariskan sebagai cerita tanpa makna, tetapi sebagai pelajaran untuk menjaga martabat dalam setiap tindakan, termasuk dalam memilih pemimpin. Harga diri dan kehormatan yang dijaga oleh para raja Bone selama berabad-abad tidak boleh dirusak oleh politik transaksional atau konflik akibat kepentingan jangka pendek. Demokrasi modern harus menjadi alat untuk melanjutkan perjuangan para leluhur, bukan menghapusnya.


Sampah : Janji Kosong, Manipulasi Politik, dan Degradasi Nilai Luhur


Salah satu tantangan terbesar dalam Pilkada Kabupaten Bone adalah munculnya fenomena yang saya sebut sebagai "sampah politik." Sampah ini tidak hanya hadir dalam bentuk literal seperti baliho, spanduk, dan poster yang memenuhi ruang publik tanpa substansi berarti, tetapi juga dalam wujud metaforis berupa janji kosong, manipulasi politik, dan degradasi nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi dasar dalam proses demokrasi.


Di tengah gempuran pragmatisme politik, kualitas para kandidat dan pemilih sering kali mengalami erosi yang memprihatinkan. Kandidat yang maju ke kontestasi politik sering lebih fokus pada strategi pencitraan semata, tanpa menawarkan program yang konkret dan relevan. Janji-janji mereka sering kali tidak dilandasi oleh pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan masyarakat atau rencana yang realistis untuk mewujudkan visi tersebut. Dalam kondisi ini, idealisme yang seharusnya menjadi pilar dalam membangun pemerintahan justru terkikis oleh kepentingan jangka pendek untuk meraih kekuasaan.


Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana para kandidat menggunakan manipulasi sebagai alat politik. Di era digital, media sosial telah menjadi senjata utama dalam menyebarkan narasi, yang sayangnya sering kali jauh dari kebenaran. Kampanye hitam (black campaign), hoaks, dan serangan personal terhadap lawan politik semakin marak, menciptakan kebingungan di kalangan pemilih. Akibatnya, fokus masyarakat bergeser dari menilai kualitas program kerja ke terjebak dalam narasi negatif yang merusak kepercayaan terhadap proses demokrasi itu sendiri.


Namun, degradasi nilai-nilai luhur tidak hanya terjadi pada para kandidat, tetapi juga pada pemilih. Pilkada yang seharusnya menjadi ruang bagi masyarakat untuk menegakkan keadilan dan memilih pemimpin yang kompeten sering kali berubah menjadi ajang pragmatisme. Suara pemilih, yang merupakan inti dari demokrasi, terdegradasi menjadi alat tawar-menawar. Politik uang (money politics), dalam bentuk pemberian uang, sembako, atau janji material lainnya, mengubah proses demokrasi menjadi transaksi semata. Pemilih yang termakan oleh pragmatisme ini melupakan pentingnya memilih berdasarkan integritas, kapasitas, dan visi calon pemimpin.


Pragmatisme ini juga mencerminkan lunturnya idealisme di kalangan masyarakat. Nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi peradaban Bone tidak lagi menjadi pedoman utama dalam menentukan pilihan. Sebaliknya, pemilih sering kali lebih terpengaruh oleh popularitas kandidat, janji jangka pendek, atau bahkan intimidasi sosial. Hal ini menandakan bahwa demokrasi di Bone sedang menghadapi tantangan besar: hilangnya kesadaran kolektif untuk menjaga martabat dan kualitas pemerintahan.


Masyarakat Bone harus menyadari bahwa Pilkada bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang menjaga warisan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh leluhur. Pragmatisme politik dan lunturnya idealisme hanya akan memperburuk situasi, menciptakan siklus kepemimpinan yang tidak kompeten dan berorientasi pada kepentingan pribadi. Para kandidat harus kembali menjadikan integritas dan visi sebagai landasan kampanye mereka, sementara masyarakat harus mengambil peran aktif sebagai pemilih cerdas yang menolak segala bentuk manipulasi dan politik uang.


Pilkada adalah momen untuk memperbaiki arah demokrasi, bukan memperburuknya. Sampah politik, baik dalam bentuk janji kosong maupun manipulasi, hanya dapat dibersihkan jika semua pihak kandidat, pemilih, dan penyelenggara pemilu—berkomitmen untuk mengembalikan demokrasi pada esensi utamanya: memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Kabupaten Bone, dengan sejarah panjangnya sebagai tanah para raja, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi contoh bagaimana demokrasi bisa dijalankan dengan integritas dan martabat. Sebuah tanggung jawab yang hanya bisa diwujudkan melalui komitmen kolektif untuk menolak pragmatisme politik dan kembali pada idealisme yang luhur.


Masyarakat Cerdas : Kunci Demokrasi yang Bermartabat


Masyarakat Bone memegang peran krusial dalam mengubah dinamika Pilkada. Dengan warisan sejarah yang panjang, warga Bone harus menyadari bahwa suara mereka adalah penentu masa depan daerah. Menjadi pemilih yang cerdas berarti mengenali kandidat secara mendalam dengan mempelajari rekam jejak, visi-misi, dan program kerja mereka, bukan hanya terpikat pada popularitas atau janji manis. Pemilih cerdas juga menolak praktik politik uang yang hanya mengorbankan komitmen pemimpin untuk melayani rakyat. Di era digital, masyarakat harus kritis terhadap informasi, memverifikasi kebenaran, dan tidak mudah terpengaruh oleh kampanye hitam atau hoaks.


Fokus utama harus diberikan pada program kerja yang realistis dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Pilkada 2024 di Kabupaten Bone membawa peluang besar untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal, tetapi peluang ini hanya dapat terwujud jika integritas proses terjaga oleh semua pihak. Pilkada tidak boleh menjadi ajang degradasi moral, tetapi harus menjadi momentum untuk mengangkat kembali nilai-nilai luhur Bone. Semua itu dimulai dari satu langkah kecil tetapi berdampak besar: memilih dengan hati dan pikiran yang cerdas, sehingga demokrasi yang bermartabat dapat diwariskan kepada generasi mendatang.


Penulis : Andi Dhedy Febriady SE MM

(Ketua KMB Lamellong UMI 2012)


Editor : Sujitno Ngadino


Komentar

Berita Terkini